Sejarah Lurik pria dan wanita yang belum kamu ketahui

Jumat, 18 Oktober 2019




Sejarah Lurik yang belum kamu ketahui

"Indonesia dikaruniai keragaman suku bangsa yang setiap mempunyai budayanya sendiri. Hal itu terlihat pula pada teknik berpakaian yang tidak sama antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, bertolak belakang dalam gaya, format serta bahan yang digunakan, lantas menjadi karakteristik masing-masing wilayah bersangkutan. Demikian halnya dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta, mempunyai pakaian tradisional yang khas, yakni salah satunya lurik."

Lurik adalahnama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garisgaris, yang merupakan emblem kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan tetapi sarat dengan arti (Djoemena, Nian S., 2000). Selain bermanfaat untuk memblokir dan mengayomi tubuh, lurik pun memiliki faedah sebagai kedudukan simbol dan faedah ritual keagamaan. Motif lurik yang digunakan oleh kelompok bangsawan bertolak belakang dengan yang dipakai oleh rakyat biasa, demikian pula lurik yang digunakan dalam upacara adat dicocokkan dengan masa-masa serta tujuannya.
Nama motifnya didapatkan dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dirasakan sakral. Motif lurik tradisional mempunyai makna yang berisi petuah, cita-cita, serta harapan untuk pemakainya. Namun demikian ketika ini pemakai lurik semakin tidak banyak dibandingkan sejumlah puluh tahun yang lalu. Perajinnya juga dari masa-masa ke masa-masa mulai menghilang.

Lurik menurut keterangan dari Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) ialah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari wilayah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada lazimnya diselingi ragam warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang dengan kata lain garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung untuk pemakainya. Berdasarkan keterangan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik ialah kain tenun yang mempunyai corak jalurjalur, sementara dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) definisi lurik ialah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.
Dan sekian banyak  definisi yang telah dilafalkan di atas, dengan begitu dapat diputuskan bahwa lurik adalahkain yang didapatkan melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diubah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu dimulai dari penciptaan benang tukel, etape pencelupan yakni pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang didapatkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa cocok warna yang dikehendaki dengan sekian banyak  variasinya.
Tidak tidak sedikit ditemui tulisan tentang kain tenun lurik. Hanya ada sejumlah saja, antara beda yang ditulis oleh Nian S.Djoemena dalam bukunya yang berjudul Lurik, Garis-garis Bertuah. Dalam kitab tersebut diterangkan mengenai proses penciptaan kain lurik beserta perangkat yang digunakan. Di samping itu, diuraikan pula tentang macam macam motif lurik, makna, masa-masa pemakaian, dan kegunaannya secara garis besar khususnya dalam acara ritual keagamaan dan dalam upacara perkawinan. Lurik yang diuraikan dalam kitab tersebut tidak melulu terbatas pada motif lurik Yogyakarta, terdapat pula motif Jawa Tengah dan Tuban, terdapat pula motif irip lurk yang ada di luar Jawa maupun Juan Indonesia. Namun, kitab ini belum menyatakan lebih lanjut tentang perkembangan lurik ketika ini dan usaha pelestariannya. Kain lurik adalahkain tenun dengan motif garisgaris pada sehelai kain. Kata Lurik berasal dari bahasa Jawa yakni lorek yang berarti lajur atau garis (Djoemena, Nian.S: 2000). Namun pakaian atau kain dengan motif lorek tidak bisa secara langsung dinamakan lurik, sebab lurik mesti mengisi persyaratan yang sehubungan dengan bahan tertentu dan diubah melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan, pencelupan, pengkelosarf, pemaletan, peghanian, pencucukan, penyetelan, hingga pada penenunan, sampai nantinya menjadi kain yang slap dipakai. Motif kain lurik ternyata tidak melulu berupa garis-garis terbaring saja, namun dalam perkembangannya kemudian, motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara garis melintang dengan garis terbaring dapat dikategorikan sebagai lurik.
Tidak melulu berupa garis, motif kain lurik ada pun yang berupa kotak-kotak yang adalahperpaduan dua garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis atau kotak saja, bakal tetapi tergolong pula kain polos dengan sekian banyak  warna, laksana merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan. Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa "Sifat lurik yaitu: bahannya dari katun, gambar garis, namun kadang buat kotak-kotak, ataupun polos. Meskipun polos, namanya tetap lurik."

Nilai Kehidupan
Salah satu kelebihan manusia ialah bahwa ia mempunyai daya kreatif guna membuat, menyusun apa yang terdapat di sekelilingnya, kemudian diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas itu adalahbagian yang urgen dalam proses berkarya seni. Seni merupakan pekerjaan kreatif khayalan manusia guna menerangkan, memahami, dan merasakan kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berjuang menciptakan pakaian yang diciptakan dari kapas atau bahan lain, lantas ditenun menjadi kain. Kain dijahit menjadi pakaian.
Seni mempunyai tujuan praktis. Tujuan praktis ini adalahguna atau guna yang didapatkan secara langsung untuk pemakainya. Tujuan praktis dari pakaian yakni untuk mengayomi tubuh dari hawa dingin, gigitan serangga, terik matahari dan sekian banyak  gangguan lainnya. Selain tersebut seni memiliki faedah sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat kelaziman dan nilai-nilai kebiasaan (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian, laksana dalam pemakaian kain lurik, ada nilai kebiasaan yang akan dikatakan dan guna diteruskan untuk generasi selanjutnya.
Pada sebuah masyarakat tradisional, di samping memiliki faedah guna atau manfaat, pakaian biasanya memiliki faedah lain seperti faedah status simbol, maupun ritual keagamaan, pada motif- motif tertentu ada kandungan nilai, harapan, dan sebagainya. Orang yang memiliki status sosial tinggi bertolak belakang pakaiannya dengan orang yang kedudukan sosialnya lebih rendah, pakaian yang dikenakan seorang bangsawan bertolak belakang dengan rakyat biasa, entah itu bertolak belakang model maupun motifnya. Begitu pula pakaian yang digunakan untuk upacara tertentu bertolak belakang dengan yang digunakan pada hari biasa.
Sesuai dengan keanekaragaman umat manusia, pakaian yang dipakai juga bermacammacam dan bervariasi. Pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya laksana yang ada pada kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia, pakaian yang dipakai menunjukkan identitas dari sebuah suku bangsa. Dalam urusan ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai sebuah benda pelajaran yang hanya digunakan tanpa memiliki makna apapun. Kain lurik misalnya, adalahsuatu simbol sebab ia mempunyai makna. Simbol adalahtanda yang dapat diartikan (Geertz:1992,17) atau diekplanasikan. Makna-makna itu adalahsesuatu yang tidak terlihat tetapi dapat disaksikan melalui penafsiranpenafsiran, pemahaman-pemahaman yang kemudian diatur sedemikian rupa. Simbol adalahsegala sesuatu (benda, peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya) yang sudah ditempeli makna tertentu. Simbol bukan kepunyaan individu, tetapi milik suatu kumpulan masyarakat. Kelompok masyarakat itu terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kelaziman serta norma perilaku yang sama, yang diungkapkan dalam tata teknik kehidupan insan yang terwujud dalam benda-benda budaya.
Kain tenun lurik adalahsalah satu benda kebiasaan karena dipunyai oleh sebuah masyarakat tertentu. Benda ini adalahwujud jasmani dari ide, nilai, maupun norma yang menata dan memberi arah untuk masyarakat pada sebuah kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang diterangkan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yakni norma sebagai tata kelakuan yang menata dan memberi arah, kegiatan yang berpola, dan benda hasil karya insan sebagai wujud fisiknya.
Manusia tidak bisa terlepas dari simbol, sebab manusia ialah binatang yang terjerat dalam jaringan-jaringan arti yang ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di masing-masing waktu dan disegala tempat, insan selalu bersangkutan dengan simbol atau lambang sebab is berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis (Herusatoto: 1987). Simbol atau emblem ini adalahhal yang penting untuk masyarakat pendukungnya. Berdasarkan keterangan dari Ernst Cassirer (1944) bahwa insan tidak bisa melihat„ menemukan, dan tentang dunia secara langsung namun melalui sekian banyak  simbol. Simbol yang terwujud dalam benda-benda budaya, dalam urusan ini ialah kain tenun lurik adalahsesuatu yang penting untuk masyarakat pendukungnya. Melalui kain lurik ini ada pesan, nasihat dan petunjuk hidup yang dikatakan dan diinginkan nantinya bisa terus diteruskan ke generasi selanjutnya. Terdapat sejumlah hal tentang simbol laksana ditulis oleh C.A Van Peursen (1976), bahwa simbol atau emblem memperlihatkan kaidah dalam tindakan manusia. Kaidah itu bersangkutan dengan semua pola kehidupan, perbuatan, dan asa manusia. Simbol muncul saat manusia sedang belajar dan guna menampung hasil belajarnya insan menggunakan media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun visual. Pengetahuan yang didapatkan manusia dari hasil belajar semakin lama semakin bertambah. Untuk memudahkan penyerapan pengtahuan yang semakin tidak sedikit tersebut, bahasa kemudain dipindahkan menjadi lambang, simbol abstrak. Pengertian bahasa disini menjadi meluas mencakup berbagai format lambang berupa tarian, gambar, kata, maupun isyarat. Lambang yang diungkapkan melewati media bahasa ini dipakai dalam rangka meneruskan, mewariskan doktrin kepada generasi setelahnya. Dari simbol yang ada pada kain lurik ini bisa ditemukan harapan, ungkapan, latihan positif yang dapat dipungut dan dijadikan pelajaran untuk generasi selanjutnya dalam menilai tahapan menuju kehidupan yang lebih baik. Meskipun ketika ini tidak tidak sedikit lagi yang memahami apa arti dibalik motif lurik, tetapi ada beberapa orang yang berjuang bertahan untuk menciptakan dan mengenakannya baik dalam acara-acara tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) dilafalkan bahwa lurik diduga berasal dari wilayah pedesaan di Jawa, tetapi lantas berkembang, tidak melulu menjadi kepunyaan rakyat, namun juga digunakan di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik diciptakan dalam format sehelai selendang yang bermanfaat sebagai kemben (penutup dada untuk wanita) dan sebagai alat guna menggendong sesuatu dengan teknik mengikatkannya pada tubuh, sehingga lantas lahirlah sebutan lurik gendong. Dan sejumlah situs peninggalan sejarah, bisa diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik telah dikenal sebagai karya tenun masa-masa itu. Bahwa lurik telah menjadi unsur dari kehidupan masyarakat lampau, dapat disaksikan dari kisah Wayang Beber yang mencerminkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan perangkat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini terlihat pula dalam di antara relief Candi Borobudur yang mencerminkan orang yang sedang menenun dengan perangkat tenun gendong. Selain tersebut adanya temuan lain, yakni prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyinggung kain Tuluh Watu sebagai di antara nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).
Pada awalnya, motif lurik masih paling sederhana, diciptakan dalam warna yang terbatas, yakni hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses penciptaan tenun lurik ini dibuka dari menyiapkan bahan yakni benang (lawe). Benang ini berasal dari tanaman perdu dengan warna berpengaruh hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan memakai pewarna tradisional, yakni yang mempunyai nama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sementara kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dibersihkan berkali-kali, lantas dipukul-pukul sampai lunak (dikemplong), setelah tersebut dijemur, kemudian dibaluri nasi dengan memakai kuas yang tercipta dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, lantas diberi warna. Setelah tersebut dijemur pulang dan benang siap guna ditenun. Dahulu, perangkat yang dipakai untuk menenun dikenal dua macam alat, yakni alat tenun bendho dan perangkat tenun gendong. Adapun perangkat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, seringkali digunakan untuk menciptakan stagen. Stagen yakni ikat pinggang dari tenunan benang yang paling panjang dan dipakai untuk pengikat kain (jarik) oleh semua wanita Jawa. Alat tenun ini dipakai dengan posisi berdiri. Disebut sebagai perangkat tenun bendho sebab alat yang dipakai untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sementara alat tenun gendong dipakai untuk menciptakan bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian sebab salah satu bagiannya ditaruh di belakang pinggang, sampai-sampai tampak laksana digendong. Dalam proses penciptaan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku perangkat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik digunakan hampir oleh seluruh orang, sebagai busana sehari-hari. Bagi wanita diciptakan kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain guna bawahan). Bagi pria, sebagai bahan baju pria, di Solo dinamakan dengan beskap, sementara di Yogyakarta disebut dengan surjan. Di samping itu, lurik juga diciptakan selendang (jarik gendong) yang seringkali dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar guna menggendong tenggok (wadah yang tercipta dari anyaman bambu), khususnya di wilayah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain diciptakan untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih urgen lagi bahwa kain lurik ini dahulu dipakai dalam upacara yang sehubungan dengan kepercayaan, contohnya labuhan ataupun upacara adat lain laksana ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.

Beberapa Macam Corak Lurik
Meskipun motif lurik ini melulu berupa garisgaris, tetapi variasinya paling banyak. Terdapat tidak sedikit ragam motif kain lurik tradisional, laksana yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) tentang nama-nama corak, yakni antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) di-
sebutkan pula sejumlah motif laksana ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya hadir motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih tidak sedikit lagi. Motif yang sangat mutahir ialah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.
Dahulu macam aneka corak lurik paling banyak, namun sekarang tidak sedikit yang telah terlupakan. Tidak seluruh orang termasuk semua perajin lurik yang ada kini ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, laksana yang dirasakan oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun lurik laksana milik Bapak Dibyo Sumarto, yakni perusahaan tenun lurik Kurnia tidak menciptakan motif lurik laksana yang dilafalkan di atas, sebab peminatnya tidak terdapat lagi. Motif-motif lurik yang sekarang diciptakan lebih bervariasi, dicocokkan dengan warna-warna yang sedang digemari atau sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat ingin selalu berubah dan kian berkembang. Beberapa motif dicocokkan dengan yang dikehendaki oleh semua pembeli. Begitu pula dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak tidak sedikit membuat motif tenun andai tidak terdapat pesanan. Beberapa kain lurik ia buat ketika ini lebih tidak sedikit untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih tidak sedikit mendapatkan pesanan dari sekolah-sekolah yang memerlukan seragam. Selain tersebut pembelinya banyak sekali dari murid sekolah yang sedang praktek tata busana.
Namun demikian, perusahaan tenun ini masih membuat sejumlah kain lurik tradisional yang masih digunakan dari jaman dulu sampai sekarang, yakni yang digunakan di lingkungan keraton laksana yang dikenakan oleh semua abdi dalem dan semua prajuritnya.
Motif yang digunakan para abdi dalem kerajaan tersebut disebut corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa Indonesia. Pakaian dengan motif ini disebut baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh mereka saat sowan atau caos (menghadap raja).
lain kluwung, gedog madu, sulur ringin, atau tuluh watu. Di samping itu, terdapat pula motif lurik beda yang pun hanya dipakai oleh orang-orang tertentu pada masa-masa tertentu pula, yakni yang dikenakan oleh abdi dalem dan semua punggawa keraton. Ketika menghadiri pisowanan (mengahadap raja), semua abdi dalem menggunakan baju peranakan dengan motif telu pat, sedangkan semua prajurit keraton masingmasing pun memakai motif lurik yang sudah ditentukan. Prajurit Jogokaryan menggunakan motif Jogokaryo, prajurit Mantrijeron menggunakan motif mantrijero, demikian pula dengan prajurit Patangpuluhan menggunakan motif patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif keraton memang mempunyai corak tersendiri. Ada yang me-namakannya lurik tiga empat, untuk semua abdi dalem. Nama motifnya yakni tiga empat, guna per-anakan...prajurit keraton antara beda mantrijero, jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif guna abdi dalem guna caos atau sowan yakni motif tiga empat." Motif lurik guna prajurit kraton lainnya ialah motif ketanggung yakni yang dikenakan oleh prajurit Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh digunakan oleh masing-masing orang disebutkan oleh Ibu Nur, "Ya laksana yang digunakan oleh semua abdi dalem, peranakan, hanya digunakan oleh kalangan keraton. Tidak dapat dipakai umum."
Namun ketika ini, menurut keterangan dari apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa semua pembeli bebas memilih motif mana yang dikehendaki. Pembeli boleh menggunakan kain lurik dengan sekian banyak  macam corak, entah tersebut yang semestinya di pakai guna sowan atau caos, ataupun yang dipakai untuk prajurit keraton. Untuk ketika ini, seringkali motif lurik yang jangan dikenakan atau dipasarkan untuk umum yakni yang digunakan untuk seragam sekolah, sebab motif tersebut telah adalahidentitas atau karakteristik sekolah yang bersangkutan.

Lurik Masa Kini
Tidak seperti sejumlah puluh tahun yang lalu, ketika ini tidak tidak sedikit masyarakat yang membubuhkan minat pada lurik khususnya untuk dikenakan sebagai busana sehari-hari. Hal ini terlihat pada surutnya jumlah pesanan di sejumlah perusahaan tenun lurik yang terdapat di Yogyakarta. Bahkan di sejumlah tempat, perusahaan tenun lurik tradisional tidak sedikit yang gulung tikar. Seperti yang terjadi di wilayah Krapyak Wetan. Dahulu, di dekat wilayah tersebut tidak sedikit rumah atau tempat buatan tenun lurik, tetapi sekarang yang tertinggal melulu satu yakni perusahaan tenun lurik Kurnia yang dipunyai Bapak Dibyo. Menurut kisah masyarakat setempat, di kampung Mlangi, Kabupaten Sleman pernah berdiri perusahaan tenun lurik tradisional, tetapi ketika ini telah tidak terdapat lagi. Beberapa lokasi lain yang diduga masih ada tempat penciptaan tenun lurik, yakni di kampung Nggamplong, Godean, Sleman, atau di sejumlah tempat di Kabupaten Kulonprogo.
Dahulu di sana tidak sedikit ditemui perusahaan tenun lurik, tetapi sekarang andai masih terdapat jumlahnya paling sedikit. Menurut sejumlah orang, sekian banyak  macam motif yang dulu pernah dibuat, kini sudah tidak diciptakan lagi sebab peminatnya pun telah tidak ada. Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang telah berusia lanjut, namun tidak terdapat regenerasi perajin guna meneruskan keahliannya tersebut. Saat ini orang lebih memilih kegiatan lain dari pada menenun. Dahulu, saat seorang perajin menenun, saat ada masa-masa senggang ia mohon anaknya guna ikut menenun. Si anak diberi latihan sedikit demi sedikit, sampai-sampai lama kelamaan ia dapat meneruskan kegiatan orang tuanya. Tetapi ketika ini urusan ini telah sulit dilakukan. Generasi muda bukan lagi mau menenun, lebih memilih kegiatan lainnya.
Kondisi ini mendorong seorang mendorong sejumlah desainer laksana Ninik Darmawan, kumpulan Lawe, PPPPTK Seni dan Budaya guna mengembangkan produk tekstil dengan bahan dasar lurik untuk diusung kembali menjadi produkproduk modern, yang tidak melulu terbatas guna pakian saja, namun lurik dijadikan sebagai bahan tas, dompet, map, dan beda sebagainya. Bagi busana desainer Ninik Darmawan sudah mengembangkan sejumlah fashion laksana gaun panjang, kemeja pria, rok, jaket, dan sebagainya. Beberapa pakaian merupakan campuran motif lurik dengan kain batik. Ninik mengembangkan kain tenun lurik tersebut sebab kain yang bercorak garis-garis ini mempunyai nilai kesederhanaan. Kain yang tebuat dari bahan katun itu sebenarnya pun sangat sesuai dengan iklim di Indonesia. Tetapi memang kesan bahwa lurik adalahpakaian rakyat lumayan kental. Apa yang berkeinginan disampaikannya melewati setiap desainnya yakni bahwa motif lurik ini sebetulnya dapat dikembangkan dan bisa dikenakan di sekian banyak  tempat dan waktu. Menurutnya dengan sentuhan desain, kain itu dapat diolah, dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa merubah makna atau arti yang terdapat di dalamnya.
Produk-produk tekstil dari bahan lurik dengan desain baru yang indah, tidak kalah menariknya bilamana dibandingkan dengan busana-busana dari bahan batik atau bahan lainnya. Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu dahsyat, sebagai unsur dari kehidupan masa kini. Apa yang dilaksanakan Ninik Darmawan, Lawe, dan PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu format transformasi budaya, yang mengusung kebiasaan lama Indonesia menjadi suatu kebiasaan baru dengan tidak meninggalkan kekayaan yang sudah diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Tradisi bukanlah sebuah barang yang mati, namun ia berkembang dan menjelma menjadi ujud baru mengekor perubahan jaman. Tradisi melayani keperluan kehidupan manusia, sampai-sampai tradisi mesti cocok dengan jiwa jamannya, tradisi yang tidak berubah bakal menghambat pertumbuhan dan bakal menjadi nilai atau produk yang basi. Dengan demikian seni tradisi laksana lurik mesti bisa melayani kehidupan insan masa kini, sampai-sampai lurik bakal lebih bermakna dan bermanfaat untuk kehidupan dari masa ke masa.
Tulisan ini semoga memberi ilham kepada desainer di sekian banyak  tempat di Indonesia, guna mengusung tenun wilayah menjadi unsur kehidupan modern, menilik Indonesia begitu kaya dengan sekian banyak  macam tekstil terutama tenun, anda akan temukan sekian banyak  ragam tenun yangt estetis sejak tanah Papua hingga dengan Nangroe Aceh Darussalam. Semoga kekayaan itu tidak menjadi kesepian dan mati, namun menjadi enerji baru yang memberi kesegaraan sebagai suatu bangsa yang kaya dan besar..




2 komentar:

sarung batik jogja mengatakan...

bagus banget infonya. kami juga menyediakan berbagai macam sarung batik jogja

sarung batik jogja mengatakan...

terimakasih infonya. Kami juga menyediakan berbagai macam sarung batik jogja

Posting Komentar